Berikut adalah cerita seorang ibu bernama Ayi Anggraeni, penumpang yang selamat pada kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta. Cerita ini saya ambil dari milis /idakrisnashow@yahoogroups.com. Semoga menjadi inspirasi buat sahabat!
Pagi itu, Rabu 7 Maret 2007, kami berempat berencana untuk mengikuti meeting-quarterly market review di Jogja naik pesawat dengan schedule take off pkl 06.00 pagi, bernomor penerbangan GA 200 pesawat jenis Boeing 737-400.
Begitu sampai bandara Soekarno-Hatta, sebagai orang yang tiba paling awal saya langsung check in dan booking seat num ber untuk yang lain, supaya kami bisa duduk berdekatan.
Pada prakteknya kemudian, posisi duduk kami di jajaran seat number 19. Mbak Risa di dekat jendela (19 F); saya sebelah kiri Mbak Risa-kursi yang di tengah (19 E), Vira dan Reza di aisle (19 D dan 19 C) sementara kursi paling belakang di pesawat itu adalah no or 25.
Take on time dan penerbangan normal saja, langit jernih dan cuaca cerah. Saya, Vira dan Mbak Risa ngobrol ngalor ngidul sepanjang perjalanan, sampai tidak terasa announcem ent mulai terdengar,
Para penum pang yang terhormat, sebentarlagi kita akan m endarat di bandara international Adi Sutjipto Jogjakarta, suhu udara di darat dilaporkan dst…..
Saya sudah tidak perhatikan lagi yang jelas para penumpang semua sudah dalam keadaan siap landing. Pada saat hati saya baru mulai heran apakah jaraknya masih jauh, karena kecepatan tidak berkurang, dan ketinggian juga tidak terasa turun perlahan, sebagaimana laiknya pesawat yang akan mendarat, pada saat itulah terjadi guncangan naik dan turun tiba-tiba.
Guncangan pertama kami bertiga masih sempat tertawa Kayak naik space mountain di Disneyland ya..? Teringat pengalaman seru kami bertiga di Hongkong ketika naik ro ercoaster ala luar angkasa. Tapi ketika hentakan itu terjadi untuk kedua kalinya, bahkan ketiga kalinya hysteria pun mulai melanda.
Ini kejadian yang tidak biasa, jantung terasa ditarik, dicopot dan dihempas seketika, seakan berada di kora-kora kursi paling ujung, hanya bedanya yang ini gerakannya vertical dan ini bukan wahana permainan Dufan! Pesawat kem udian terasa menukik, tapi kecepatan tidak berkurang, dan gerakannya masih tidak stabil, sampai kemudian mem bentur landasan dengan sangat sangat sangat keras seperti pesawat mainan yang dibanting penuh kemarahan ke atas tanah berbatu.
Kengerian bertambah hebat ketika pesawat melaju kencang seakan tidak dapat dihentikan dan terpantul-pantul bagaikan bola pingpong. Penumpang terguncang-guncang, terbentur bentur dalam suasana panik. Teriakan, tangisan, jeritan, doa dan takbir bercam purjadi satu.
Dalam benak saya saat itu, tak dapat dipercaya bahwa saat ini saya mengalami suatu proses kecelakaan pesawat, tapi saya berserah dan berharap andaikan pesawat harus keluar jalur atau terperosok semoga tidak ada api atau ledakan, sehingga kami semua bisa keluarpesawat dengan baik-baik saja.
Ketika akhirnya pesawat benar-benar terhenti, saat itu lampu sudah padam, suasana di dalam pesawat gelap hanya sedikit cahaya dari jendela dan m ungkin juga lampu darurat yang menyala saya tidak ingat . Begitu banyak percikan api di bagian atas kepala menyerpihkan langit-langit pesawat menjadi kepingan yang berjatuhan menimbulkan bunyi.
Secepat kilat, saya buka seat belt, sempat saya lihat dari jendela sebelah kanan Mbak Risa, api di bagian sayap menjilat-jilat kemudian seakan menyeruak menyambar badan pesawat. Whusz…..Saya lihat kursi Vira di sebelah kiri saya sudah kosong Saya segera berdiri
Masyaallah.. ternyata sudah api juga di dalam pesawat bagian tengah hanya berjarak kurang lebih beberapa meter dari kursi saya. Saya lihat jelas ada tas tangan saya dan beberapa barang lain yang entah apa berada di bawah kursi di depan saya dan sempat saya raih.
Namun begitu sadar yang terambil bukan tas saya, refleks saya lepaskan lagi (belakangan saya tahu itu tas Vira). Saya cepat begerak ke arah pintu belakang pesawat. Langkah menuju pintu belakang adalah perjuangan antara hidup dan mati buat kami. Benar dugaan saya, api akan mem buat suasana panik kian memuncak.
Ketegangan, ketakutan luar biasa bercam pur kepasrahan tidak dapat saya gam barkan semua berdesakan untuk menuju pintu, Saya bertakbir dan beristighfar dengan segenap hati jarak seat 19 ke pintu belakang seakan butuh waktu berabad-abad. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba saya sadari kaki kanan saya sudah tersangkut di kaki kursi sekitarkursi nomor 23, sementara badan saya sudah terdorong ke depan, saya berpegangan sambil berusaha keras melepaskan kaki , tapi sulitnya bukan m ain karena tergencet orang-orang di belakang dan sam ping saya, suhu udara sekitar saya m enghangat.
Saya sempat berteriak-teriak sabar pak.. sabar..pak !. Ketika akhirnya kaki yang tersangkut bisa terbebas kini saya berhadapan dengan pintu keluar, dua orang pramugari memandu para penum pang untuk keluar dari pesawat. Saya terhenyak sesaat, di depan pintu pesawat seorang ibu berkerudung hijau tergeletak terlentang dengan wajah berlum uran darah saya tidak sanggup m engulurkan tangan, karena rasanya saya tak kan kuat membantunya berdiri, untunglah petugas berseragam biru terlihat datang menolongnya, saya kemudian bisa keluar meninggalkan pesawat dan menghirup udara di luar pesawat.
Jarak ketinggian dari pintu ke tanah becek persawahan itu sekitar 60 cm , balon perosotan untuk turun terpasang tapi bentuknya sudah tidak jelasdan kempes. Saya berjalan secepat yang saya bisa meninggalkan dan menjauhi pesawat. Masih bertakbir dengan lutut gemetar melangkah di antara tanah lunak berlumpur saya lega melihat Mbak Risa dan Vira juga berjalan agak jauh di depan saya dengan tidak terlihat tanda-tanda cedera
Seragam , jaket, sepatu dan kacamata saya masih lengkap melekat di badan, dan yang paling berharga di atas segala barang bawaan saya.. adalah nyawa yang Allah masih selamatkan dan berikan kese patan hidup lebih lama kepada saya. Sungguh suatu nikmat yang tak terkira.
Alhamduliahi Robbilalamin Kami bertiga berkumpul dan berpelukan, menangis tertekan, terduduk di pematang 100 meteran jaraknya dari pesawat yang mengeluarkan asap hitam bergulung-gulung ke udara, bagian moncong pesawat sudah tak jelas, seperti terpotong.
Tak sampai 10 m enit sejak kam i keluar pesawat. Tiba-tiba sebuah ledakan yang teramat keras membahana menimbulkan bola api dengan kobaran menghebat. Kami terdiam, gemeta rmenyaksikan sesuatu yang selama ini m ungkin hanya dilihat di TV dan koran
Ya A ah begitu dekatnya ka i dengan maut, seakan bermimpi melihat pesawat yang membawa kami M E LE D A K dan terbakar dengan begitu dahsyat. Apakah di dalam nya masih ada orang ? Mungkin jika kami terlambat sedikit saja. Lalu ke mana Reza ? Kami kemudian menuju jalan yang terletak di bawah persawahan, kami lihat sudah banyak orang bersiaga memberikan bantuan, menuntun menuruni sawah, serta beberapa orang mengguncang-guncang merobohkan pagar kawat pembatas.
Mobil am bulance dan pemadam kebakaran sudah terlihat, tapi kami belum melihat Reza.. Ketika akhirnya kami m engenali Reza lebih dulu dari seragam yang dikenakannya, dia ditandu menuju ambulance, wajahnya berleleran darah, bagian mulut terlihat parah , namun dia masih sadar dan masih bisa berkomunikasi.
Reza kemudian dibawa ke RS Lanud-AURI. Suasana saat itu sangat membuat hati saya miris, banyak korban terluka parah-simbahan darah dan daging terkoyak terbakar ambulance dan pemadam kebakaran membunyikan sirene yang meraung-raung, melengkapi erangan mem ilukan, beberapa petugas terdengar mem berikan perintah ini-itu, perasaan saya masih tidak menentu.
Meskipun demikian, saya lihat tidak sedikit pula yang bisa selamat keluar dari pesawat tanpa luka berarti kecuali rasa shock. Kami bertiga sempat diminta naik ambulance yang lain, namun karena korban yang dimasukkan ke dalam nya kondisinya sangat mengenaskan, atas ajakan Vira kam i mengurungkan diri, dan kemudian memutuskan untuk naik mobil taxi yang standby mengantarkan korban ke rumah sakit terdekat, dengan dua orang lainnya kami di bawa ke Panti Rini.
Tak jauh dari lokasi, kami melihat Pak Dedet yang berdiri di pinggir jalan, dan seorang lagi yang berseragam yang rupanya sudah sedari tadi di bandara untuk menjemput. Kami sempat memberitahu tujuan kami kepadanya, tapi tidak dijinkan turun oleh supir, karena semua penum pang harus didata dan diperiksa dulu, sebelum diijinkan untuk dibawa keluarganya.
Di Panti Rini saya diperiksa dan dirontgen terutama karena keluhan di bagian perut, juga diberi suntikan penahan sakit-rupaya ada memar di daerah tulang panggul, tapi tidak ada retak atau patah tulang.
Tidak terlalu lama di RS kecil dengan penanganan yang cukup baik itu. Bersama manager regional Jawa Tengah Pak Wendra kami kemudian menuju hotel Jogjakarta Plaza hotel di mana kam i semua dari sampoerna menginap dan meeting.
Diantarke ruangan m eeting kami disambut dengan penuh haru. Sorenya setelah makan , nonton perkembangan pemberitaan di TV dan cukup istirahat (gak bisa tidur sih) kami gabung di ruangan meeting, bahkan Mbak Risa masih dengan tenang tetap menyampaikan materi presentasinya sendiri. Malam harinya ketika kami jenguk Reza di RS Bethesda, kami baru mengetahui bahwa bantalan tulang belakang Reza mem bengkak sehingga berpengaruh ke kakinya.
Barangkali ketika masih di dalam pesawat, guncangan sudah menyebabkan hal ini terjadi, sehingga ketika pada saatnya dia hendak berdiri, kakinya tidak dapat digerakkan akibat rasa kesemutan. yang teramat sangat. Saya mem ang melarang suami dan keluarga yang hendak datang menjem put ke Jogja, karena saya merasa cukup kuat dan sehat dan tidak ada cedera apa-apa kecuali memar.
Lagipula di Jogja team area bahkan pimpinan Sampoerna banyak yang care dan ngurusin segala sesuatunya sehingga tidak ada alasan untuk kuatir. Saya kembali ke Jakarta keesokkan harinya Kam is 8 Maret 2007 dengan pesawat pukul07.40 pagi dengan jenis pesawat yang sama dengan pesawat saya yang terbakar kemarin 737-400.
Banyak orang bertanya Apa nggak trauma naik pesawat lagi ?. Tapi keinginan untuk segera pulang dan bertemu suami dan anak-anak mem buat saya m enguatkan hati untuk kembali ke Jakarta sesuai schedule yang sudah dipesan. Langit Jogja tidak secerah hari sebelum nya, sedikit muram dan gerimis mengiringi langkah kami menuju tangga pesawat. Ketika take off yang bergelombang dan kurang mulus, jantung saya berdegup sangat kencang, terlebih ketika di udara pesawat bergoyang-goyang cukup lama. Saya menangkap ada aura mencekam di antara seluruh penum pang.
Saya lihat dua orang-pramugari dan pramugara saling perpandangan -yang di m ata saya -menyiratkan kecemasan. Mereka tidak lagi mengantarkan makanan dengan meja beroda karena pesawat tidak stabil, sepanjang tanda seat belt terus terpasang sepanjang itu pula saya m em ejam kan m ata bertasbih dan m em egang tangan kursi erat-erat. Tanda pasang seat bealt padam , tapi tak lama kemudian tanda itu menyala lagi. Ya A ah , apakah harus terjadi lagi ?
Inilah penerbangan yang paling menakutkan bagi saya seumur hidup saya, setelah kejadian kemarin, masih terbayang peristiwa pedih dan m engerikan itu. Alham dulilah, saya mendarat dengan selam at di Jakarta, hati saya tak henti-hentinya bersyukur. Betapa bodohnya saya, bila kesem patan hidup yang diberikan Allah ini tidak menjadikan saya manusia yang lebih baik dan berkualitas. Lebih menghargai hidup mensyukuri setiap helaan nafas, dan setiap langkah kaki.
Hidup dan mati di tangan A ah, sungguh m anusia tiada berdaya upaya tak ada artinya se ua kesombongan hati dan diri manusia hanya Allah yang Maha berkuasa dan berkehendak.
Lion Air, Adam Air, Mandala, « bahkan. Garuda sekalipun bila Allah menghendaki celaka itu terjadi, maka terjadilah. Kita bisa mati kapan dan di mana saja, tak seorang pun dapat menolak. Sem oga kita dapat menyiapkan diri kita dan senantiasa dapat m enjaga diri kita untuk selalu mengingat Nya, sehingga saat ajal menjemput hendaknya kita tengah mengingat Nya.
Bekasi, 9 Maret 2007
Sumber : Gambar internet.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
1 Response to "CERITA PENGALAMAN MENCEKAM IBU AYI ANGGRAENI, PENUMPANG SELAMAT PADA KECELAKAAN PESAWAT GARUDA DI JOGYAKARTA"
kamis 12 Februari 2015 menjadi pengalaman terburuk saya saat naik pesawat. padahal pesawat yang saya naiki pesawat nomor 1 terbaik di negeri ini.
membawa trauma selama 12 jam buat saya.
saya mencari-cari pembanding cerita-cerita pengalaman yang menyeramkan agar bisa membuat saya bangkit lagi dan lebih beryukur akan kondisi yang pernah saya alami